_Oleh : KRT. KH. Mukhammad Musyrifin Puja Reksa Budaya_
Dasar argumen tulisan ini adalah buku Damar Shashangka berjudul Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta: Dolphin, 2014). Di buku tersebut, Shashangka mendefinisikan Kejawen dengan terlebih dahulu membedakannya dari Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Yang dimaksud dengan Jawa Dipa adalah ajaran asli Jawa yang jejaknya dapat dilihat dalam berbagai upacara Jawa (seperti tumpengan dll.) dan kepercayaan Jawa (seperti kepercayaan tentang roh leluhur, tempat-tempat keramat dan perhitungan primbon). (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 21-22).
Sebagian orang, seperti DR. R.Ng. KH. Agus Sunyoto dan B. Wiwoho, menyebut ajaran asli Jawa itu sebagai “Kapitayan”. Sebutan Kapitayan terkait dengan kepercayaan pada kekuatan ghoib yang disebut dengan Taya. Manifestasi Taya disebut TU. Ketika TU hadir dalam kebaikan yang terang, Ia disebut TU-Han. Ketika TU muncul dalam keburukan yang gelap, Ia disebut sebagai Han-TU.
Daya ghoib TU dipercaya tersimpan di Wa-Tu (batu), TU-K (mata air), TU-Ban (air terjun) dan lain-lain. Maka, untuk-Nya, persembahan diberikan antara lain dalam bentuk TU-mpeng. TU positif yang diserap manusia disebut dengan TU-ah, sedangkan TU buruk yang diserap manusia disebut TU-lah. Manusia yang menerima TU secara paripurna pun disebut Ra-Tu. (Wiwoho, Islam Mencintai Nusantara, h. 62-63).
Menurut Shashangka, “Kapitayan”, yang berisi keyakinan tersebut, merupakan terjemahan dari kata 'Kepercayaan', yang populer di dekade 1980-an, seiring dengan keberadaan Penghayat Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Tapi apakah kepercayaan Jawa asli itu bernama Kapitayan atau Jawa Dipa (artinya pelita Jawa), tidak bisa dipastikan. Yang jelas, Kejawen bukan seratus persen Kapitayan atau Jawa Dipa. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22).
Kejawen juga bukan Jawa Buda. Sebab, Jawa Buda adalah campuran dari Jawa Dipa dengan agama Siwa dan agama Buddha Mahayana/ Tantrayana/ Wajrayana, yang berkembang pesat di masa Kerajaan Majapahit, lalu berpindah ke Bali. Di tangan Danghyang Dwijendra (rohaniawan Bali), Siwa-Jawa dan Buddha-Jawa dipisahkan dari rahim agama Jawa Buda, di mana unsur Siwa-Jawa yang lebih ditonjolkan, dan menjadi agama Tirtho, yang kemudian lebih dikenal sebagai agama Hindu Bali. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22-23).
Mengapa Kejawen bukan Jawa Dipa murni dan bukan Jawa Buda? Sebab, inti dari Kejawen adalah Wirid Hidayat Jati. Rujukan utama Kejawen itu berisi wejangan Sunan Kalijogo (separuhnya), Delapan Wali yang lain dan Ronggawarsito. Ajaran itu tidak ada di zaman Majapahit, apalagi sebelumnya. Kemunculannya setelah Majapahit tumbang.
Penyusunnya yang pertama Sunan Kalijogo, yang kedua Sultan Agung, yang ketiga Ronggowarsito. Isinya Islam Tasawuf berbalut budaya Jawa. Oleh karena itu, Kejawen Bukan Jawa Dipa murni, bukan pula Jawa Buda, pelepasan Islam Tasawuf Jawa yang menghubungkan mistisisme Islam dengan Jawa Dipa dan Jawa Buda. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h.23-28).
*_Hipotesis tersebut berjangkar pada isi Wirid Hidayat Jati._* Permulaan buku itu adalah pemaparan tentang guru dan murid. (Bab 1-2) yang notabene ajaran tasawuf Islam (murid) yang selaras dengan ajaran Jawa Buda (santri). Selanjutnya, Wirid Hidayat Jati mengisi hal ikhwal tentang wirid, yang tidak melulu terkait dengan doa, pelepasan wejangan yang bisa memancangkan pikiran malah diri kepada Tuhan.
Wirid Hidayat Jati memaparkan bahasan tentang Tuhan, manusia, alam semesta, relasi manusia dengan Tuhan dan semesta, dan beberapa doa dan ritual. Di situ, ajaran Islam tasawuf tingkat tinggi diintegrasikan dengan budaya Jawa, yang bernuansa Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Misalnya, Jawa Dipa dan Jawa Buda semedi: menyatukan diri dengan kekuatan semesta. Di pihak lain, tingkat tertinggi relasi manusia dengan Tuhan versi Islam adalah Ikhsan, yaitu merasa 'dilihat' dan 'melihat' Tuhan. Di Kejawen, yang tercatat di Wirid Hidayat Jati, tirakat tertinggi dalam hubungan dengan Tuhan disebut sebagai Sholat Da’im.
Secara Sejenis, Sholat Da’im (sholat abadi) selaras dengan ayat Al Qur’an (QS. Al Ma'arij : 23). Tapi pengertian Sholat Da’im versi Kejawen tidak bisa menjalankan sholat lima waktu dan sholat-sholat sunnah, pelan senantiasa mengingat Tuhan tanpa putus bangun tidur nyenyak lagi, yang dimulai dengan niat berbicara di sini.
Apakah Sholat Da’im ala Kejawen itu ibadah kepada Tuhan tingkat tinggi? Jika orang Kejawen melakukan ibadah tingkat tinggi yang selaras dengan Islam dan salam pada wejangan yang penuh ajaran tasawuf Islam, layakkah orang kejawen dieklusikan dari Islam?
Islam masuk ke tanah Jawa melalui berbagai jalur penyebaran yang masih mengundang perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Meskipun demikian, di kalangan masyarakat Jawa hidup suatu kepercayaan tentang peranan utama para wali (Wali Songo) dalam penyebarannya di tanah Jawa.
Perkembangan kemudian yang dapat ditemui bahwa corak Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam yang berwujud ajaran-ajaran tasawuf. Hal ini diduga erat berkaitan dengan kemiripan yang dipunyai ajaran tasawuf dengan unsur-unsur mistik yang kuat di masyarakat peninggalan dari tradisi animisme hingga era Hindu-Budha. Muncullah kemudian satu bentuk sinkretisme antara tasawuf Islam dengan mistik kejawen.
Dukungan politik keraton menjadi salah satu faktor pendorong menguatnya ajaran Kejawen di kalangan masyarakat Jawa. Setelah kekuasaan beralih dari Pajang ke Mataram, ajaran kebatinan adalah satu ajaran yang dipakai oleh penguasa Mataram. Dengan demikian maka penyebaran ajaran Islam telah gagal melakukan penetrasi ke wilayah pedalaman Jawa.
Di luar kelompok ajaran Kejawen, banyak kelompok yang berseberangan. Penulis menyebut kelompok ini dengan Islam Syariah, yakni kelompok Islam yang berpandangan bahwa Islam mewajibkan ritual ibadah harus sesuai dengan fikih Islam yang sudah termaktub dalam Al Qur’an, hadits dan kitab-kitab ulama.
Penganut Islam syariah, menganggap bahwa di dalam ber-Islam fikih (hukum Islam) harus dilaksanakan sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rosulullah sebagaimana yang tercantum di dalam Al Qur’an dan Hadits. Orang yang melaksanakannya adalah orang yang salih dan benar dalam menjalankan ajaran Islam tanpa peduli kualitas spiritual dan efek ibadah normatif terhadap perilaku keseharian.
Jika Islam Kejawen dipertemukan dengan Islam Syariah, maka yang terjadi adalah perdebatan yang tak kunjung selesai. Sebab antara keduanya terdapat perbedaan. Perseteruan antara Islam Kejawen dengan kelompok Islam Syariah, *_menimbulkan stigma bahwa laku spritual Islam Kejawen dianggap musyrik, sesat dan bid’ah sehingga harus dihindari._*
Hal ini tidak lain karena syariah yang diajarkan dalam Islam Kejawen tidak mewajibkan hal-hal yang bersifat fiqhiyyah. Sebab dalam ranah tauhid dan akhlak, tidak ada masalah sama sekali. Sebab yang disembah adalah Allah dan dalam akhlak, keduanya mengajarkan kebaikan kepada sesama manusia dan makhluk lainnya.
Bagi penganut Kejawen bukanlah hal yang wajib sebab dalam laku spiritual orang tidak harus menjalankan seperangkat aturan fikih. Sebab kenyataannya tidak semua pelaksana fikih menjadi oang yang memiliki kualitas spiritual yang baik. Sebaliknya penganut Islam Kejawen yang tidak memakai fikih, memiliki kualitas spiritual yang baik khususnya dalam kedekatan bersama Tuhan.
Konfrontasi antara Islam Kejawen dan Islam Syariah sudah dimulai sejak masa pemerintahan Kerajaan Mataram yang berpusat di pedalaman Jawa. Kerajaan Mataram berada pada pusat tanah Jawa menjadi tempat tarik ulur antara Islam gaya pesisiran yang memegang teguh fikih. Islamisasi Jawa semakin kuat dan sebaliknya Jawanisasi Islam juga sangat kuat. Terlebih setelah Mataram menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa seperti Pasuruan (1617), Tuban (1619), Surabaya (1625), Pati (1627) dan Giri (1636).
Berbeda jika Islam Kejawen disandingkan dengan Penganut Tasawuf. Sebab Islam Kejawen sendiri lebih dekat dengan ajaran Tasawuf. Ajaran tasawuf, sebagaimana pula Kejawen memberikan pola-pola ibadah yang tujuannya adalah ketenteraman rohani dengan zuhud.
Kesamaan tujuan antara tasawuf dan Kejawen dapat dipahami dengan jelas berdasarkan ritualnya yakni segala ritual dilakukan sebagai upaya untuk pendekatan diri kepada Tuhan. Jika tasawuf mengedepankan pemusatan batin melalui meditasi, mistik kejawen juga mengajarkan hal yang sama.
Di kalangan umat Islam, sesuai dengan ajaran Al Qur’an mula-mula yang muncul adalah tipe transendental mistik dengan pendekatan gnostik, yakni upaya untuk memantapkan dan menghidupkan keyakinan dan pengamalan agama dengan perantaraaan penghayatan agama dengan perantaraan penghayatan makrifat kepada Allah Swt.
Kemunculan gerakan mistik atau tasawuf karena adanya segolongan umat Islam yang tidak puas dengan perkembangan teologi Islam yang amat rasionalis dan legalis (fiqh-oriented). Keduanya dianggap sebagai hal yang mendangkalkan dan mengeringkan jiwa agama.
Imam Ghozali salah satu pemikir tasawuf Islam membuat rumusan yang komprehensif, yang memuat ajaran Islam yang rasionalis, legalis dan mistis. Menurutnya penyucian hati merupakan salah satu bagian terpenting dalam ajaran tasawuf. Salah satu langkah penyucian hati adalah dengan uzlah. Dalam ajaran kejawen disebut dengan semedi atau meditasi.
Secara syariat, Islam Kejawen memang tidak dikenal dalam Al Qur’an maupun Hadits. Namun beberapa versi mengatakan, Islam Kejawen baru muncul seiring dengan datangnya Wali Songo ke Tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Dalam dakwahnya, para Wali melakukan pendekatan yang halus, yakni memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima dan dipahami masyarakat saat itu.
Seperti yang nampak pada pagelaran wayang kulit dengan cerita Serat Kalimosodo. Kesamaan bunyi antara "Kalimosodo" dengan "kalimah syahadat" bisa disimak pada lakon tersebut.
Dikisahkan, Serat Kalimosodo adalah lembaran yang berisi sesuatu yang teramat sakral dan ampuh melawan segala kejahatan di muka bumi. Konon siapapun si pembawa serat ini, maka dia akan menjadi sakti mandraguna.
Sampai menjelang akhir cerita, tidak ada tokoh yang tahu isi serat tersebut. Barulah ki dalang membeberkan jika isi Serat Kalimasada adalah dua kalimat syahadat.
Tak hanya kisah pewayangan, para wali juga menciptakan tembang Macapat yang sarat akan filsafat. Ke-11 tembang ini jika dibedah memiliki "ruh"nya sendiri-sendiri. Dimulai dari tembang Mijil yang bermakna kelahiran, hingga Megatruh (ruh meninggalkan raga) dan diakhiri dengan Pocung.
Selain berupa lakon pewayangan dan gending, aliran Islam Kejawen juga dikenal memiliki enam ilmu supranatural seperti berikut :
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal. Ilmu kanuragana berfungsi untuk bela diri secara supranatural dan kebal terhadap serangan. Contohnya : Asma' Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Syahadad Pamungkas, dan lain-lain.
2. Ilmu Kewibawaan dan Ilmu Pengasihan. Ilmu Kewibawaan dimanfaatkan untuk menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan agar disegani. Sementara Ilmu Pengasihan membuat orang yang dicintai terpikat dan biasa dimanfaatkan para pemuda.
3. Ilmu Terawangan dan Ngrogosukmo. Ilmu Terawangan bisa digunakan untuk melihat bangsa gaib, masa depan, sampai berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Jika dalam ilmu terawangan hanya mata batin yang berkeliaran, namun pada tingkat Ngrogosukmo, seseorang bisa melepaskan sukma untuk bepergian ke manapun ia mau.
4. Ilmu Khodam. Seseorang yang menguasai ilmu khodam berarti dia bisa berkomunikasi dengan makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya.
5. Ilmu Permainan. Ilmu ini biasa digunakan seseorang yang beratraksi untuk sebuah pertunjukan. Sekilas mirip dengan ilmu kebal.
6. Ilmu Kesehatan. Termasuk dalam ilmu ini adalah ilmu gurah, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi biologis tubuh manusia.
Kitab Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu karya dalam khazanah kepustakaan Islam kejawen. Kitab ini adakalanya disebut secara singkat dengan nama Serat Wirid atau juga Hidayat Jati. Keistimewaan dari Wirid Hidayat Jati adalah merupakah hasil karya Raden Ngabehi Ronggawarsito (1802-1873).
Dia seorang sastrawan istana Mataram Surakarta yang sangat masyhur. Bahkan kemudian oleh para pecinta kepustakaan Jawa, serta para pengagumnya, digelari sebagai pujangga penutup. Dengan gelar kehormatan sebagai pujangga penutup, berarti Ronggawarsito memiliki kedudukan yang amat tinggi. Kalau Nabi Muhammad mendapat gelar kehormatan sebagai khatam Al Anbiya’, atau sebagai Nabi penutup, maka Ronggawarsito-lah yang digelari sebagai pujangga penutup.
Keistimewaan lainnya, menurut Simuh (1988), karena wirid hidayat jati ini disusun dalam bentuk jarwa atau prosa. Isi kandungannya diproyeksikan untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap dan padat.
Serat wirid yang diterbitkan oleh Administrasi Jawi Kandha, isinya meliputi: Upacara dan perlengkapan sajian yang harus diselenggarakan oleh seorang guru yang akan mengajarkan ilmu sufi, uraian bab guru dan murid, ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara Dzat, sifat, asma dan af’al Tuhan, uraian tentang cita kesatuan antara manusia dengan Tuhan, jalan untuk mencapai penghayataan mistik dan kesatuan dengan Tuhan, tingkat-tingkat penghayatan mistik beserta godaan-godaan yang terdapat dalam tingkat-tingkat tersebut, uraian tentang pencitaan manusia dan hakikat manusia, dan yang terakhir berupa aspek budi luhur (akhlak) beserta ajaran yang berkaitan dengan kesufian.
Bila melihat struktur isi yang terdapat dalam serat wirid hidayat jati sebagaimana tertulis di atas, maka menjadi jelas bahwa karya ini mencoba mengkaji persoalan sufisme Jawa secara lengkap dan memadai. Ronggawarsito boleh dibilang telah berhasil dalam melakukan sinkretisme antara ajaran kebatinan Jawa dengan sufisme Islam, sehingga melahirkan corak sufisme Jawa yang otentik, di mana ajaran manunggaling kawulo - Gusti sangat khas dalam konsep sufisme Jawa yang dihadirkan dalam karya tersebut.
Meski ajaran kesatuan wujud (manunggaling kaliwo - Gusti) sangat khas, namun kitab wirid hidayat jati bukan merupakan ajaran murni yang berbasis pada konsep kesatuan manusia dan Tuhan. Konsep sufisme yang tercermin dalam kitab wirid hidayat jati memiliki dua inti sekaligus, yakni ajaran sufi yang menekankan pada aspek teosentris (ketuhanan) juga aspek antroposentris (kemanusiaan).
Sebabnya, dalam kitab wirid ini kolaborasi antara pembahasan Tuhan dan manusia tampak seimbang dan komprehensif. Sehingga tidak benar bila kitab wirid ini hanya berkaitan dengan cara mengenal Tuhan, tetapi juga sekaligus tentang cara mengenali hakikat manusia.
Namun demikian, bahwa gambaran tentang Tuhan dalam wirid hidayat jati sangatlah bersifat antropomorfis. Artinya, Tuhan digambarkan berada pada hidup manusia, bahwa antara Tuhan dan manusia tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hidup manusia menurut wirid hidayat jati merupakan sifat Tuhan. Sifat pastinya tidak terpisahkan dengan dzat. Oleh karena itu, Simuh menandaskan bahwa keterangan tentang Tuhan selalu timpang tindih dengan keterangan manusia. Uraian tentang Tuhan selalu dikaitkan dengan uraian tentang manusia sekaligus merupakan keterangan tentang Tuhan.
Persoalan sufisme dalam wirid hidayat jati sebenarnya sama dengan ajaran sufisme ataupun mistik pada umumnya. Esensi sufisme pada umumnya adalah teosentrisme. Artinya, pusat kegiatan bukan mengabdi kepada Tuhan, akan tetapi justru mencari dan merindukan untuk bertemu muka dan pendapat petunjuk langsung dengan perantara bertatap muka dengan Dia (Tuhan). Atau dalam wirid hidayat jati bahkan bersatu dan menjadi berkuasa, seperti Tuhan sendiri. Dalam tasawuf, hubungan langsung ini memunculkan konsep makrifat, sementara dalam sufisme Jawa memunculkan konsep wangsit, petunjuk, dan manunggaling kawulo - Gusti.
Yang jelas, ada perbedaan mendasar antara konsep sufisme dalam wirid hidayat jati dengan sufisme Islam. Sufisme Islam menuntut bentuk pemimpin rasional (ulama) sedangkan sufisme dalam wirid hidayat jati umumnya melahirkan bentuk kepemimpinan yang irasional. Misalnya pemitosan wali-wali keramat, orang-orang suci, raja-raja, beserta kuburan-kuburannya. Logika Islam adalah logika penalaran yang cerah, sedangkan logika sufisme Jawa adalah logika paradoksal dengan rumusan simbol-simbol. Jadi, konsep sufisme dalam wirid hidayat jati adalah ilmu serba ghoib dan banyak mitosnya.
Sholat Sebagai Ngelmu dan Laku
Islam kejawen yang memang dilahirkan oleh tradisi besar keraton Jawa, walau bagaimanapun tetap menganggap salat sebagai hal yang penting dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih pada masa pemerintahan *Paku Buwana III,* yang memberikan perhatian terhadap kehidupan bergama dan budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Sholat tetap dipandang sebagai rukun agama, yang dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, bahkan sholat dijadikan sebagai salah satu ngelmu dan laku bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan Islam Kejawen. Ngelmu dan laku bagi masyarakat Islam kejawen merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang menjadi pedoman hidup manusia (Hariwijaya, 2004 : 204).
Ngelmu dan laku merupakan spiritualitas masyarakat Jawa, karena ngelmu (ilmu) lebih memiliki nilai mistik, menekankan pada nilai-nilai batin, bukan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada rasionalitas atau empirisme. Spiritualitas masyarakat Jawa dengan corak sufisme berkembang berkat kreatifitas sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir, puasa, dan juga salat, dapat dijumpai dalam berbagai karya sastra pujangga Jawa. Demikian juga apa yang disampaikan oleh Sastrawijaya, yang menjadikan sholat sebagai salah satu laku spiritual bagi masyarakat Islam Jawa. Hal yang senada juga diajarkan oleh *Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama,* sebagaimana tersebut di bawah ini :
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkoro”
Artinya:
“Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku *(Mujahadah),* dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan”.
Ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Oleh sebab itu, berdasarkan bait tersebut dapat dipahami bahwa, ilmu batini perlu disertai dengan “laku spiritual” (ngelmu iku kalakone kanthi laku). Keberhasilan pencapaian ilmu batin perlu diawali dengan mengalahkan nafsu jahat (dur angkoro) untuk mencapai derajat budi pekerti luhur (akhlak al karimah). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan topo, yang merupakan salah satu bentuk puasa orang Jawa. Demikian juga halnya dengan sholat, menurut Sastrawijaya, bukan hanya sebatas melaksanakan perintah agama tetapi memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada itu, yaitu sebagai ngelmu dan laku dalam membersihkan diri untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawulo - Gusti).
Islam sebagai agama resmi kerajaan, pada masa pemerintahan *Paku Buwana III,* sebagaimana tercermin dalam berbagai karya para pujangga istananya (khususnya Sastrawijaya) telah menjadi dasar beragama yang kuat, dan juga telah menjadi dasar dari ngelmu dan laku masyarakat Jawa pada umumnya. Ngelmu dan laku masyarakat Jawa yang didasarkan pada ajaran agama dan berpedoman pada ajaran kerohanian telah melahirkan sikap hidup Teo-sentris, Tuhan berada dimana-mana dan bersifat Tunggal (Esa). Jika Tuhan Yang Esa ada dimanapun manusia itu berada, maka manusia berusaha untuk mencari hakikat ketunggalan (ke-esaan) Tuhan itu dengan ngelmu dan laku yang dapat menghantarkan pada penyatuannya dengan Tuhan. Salah satu ajaran Islam yang mengajarkan cara-cara mengabdi atau menyembah kepada Tuhan adalah sholat.
Sholat bukan hanya sebatas identitas orang beragama bagi orang-orang Islam Jawa, tetapi dapat menjadi ngelmu dan laku dalam mencapai penyatuan dengan Tuhan. Dengan pencapaian penghayatan terhadap ngelmu dan laku sholat, maka seseorang akan dapat hidup selaras dengan alam (kosmos), baik itu mikro (sesama manusia) maupun makro (alam semesta).
1. Ngelmu dan Laku Usholli
Sholat sebagai ngelmu dan laku adalah sebagai bentuk pembinaan hubungan yang harmonis antara seseorang dengan makhluk hidup di sekitarnya. Juga hubungan keluarga dengan masyarakat, hubungan dengan bangsa-bangsa lain, dan bahkan hubungan manusia dengan alam sekelilingnya. Dengan menjadikan sholat sebagai Ngelmu dan laku, maka dapat membentuk watak manusia menjadi lebih baik dan mulia menuju kebahagiaan yang sejati. Selain itu, juga dapat membimbing manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan, sehingga dapat menghantarkan rohnya bersatu dengan Yang Maha Kuasa (Tuhan). Kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat diraih jika roh seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, kebahagiaan yang diliputi perasaan tenang dan tentram.
Sebagaimana dalam tradisi kapujanggan Jawa, bahwa untuk menjadi pujangga istana haruslah memiliki ilmu dan pengetahuan lahir dan batin (Simuh, 1998; Margana, 2004; Suhandjati, 2004). Demikian juga halnya dengan Sastrawijaya sebagai seorang pujangga Kraton, yang berbekal dengan berbagai ilmu, baik itu ilmu agama sastra, kanuragan dan olah batin. Penghayatan dan pemahaman keagamaan Sastrawijaya jika dilihat dari karya-karyanya dapat digolongkan sebagai seorang sunni, hal ini dapat kita mafhum bahwa Islam yang mampu menerobos dinding kepercayaan istana-istana Jawa adalah Islam yang dibawa oleh kaum sufi sunni. Demikian juga dalam karya-karyanya, menunjukkan adanya ajaran fikih dan tasawuf sunni sunni yang begitu kental. Hal ini dapat kita lihat ketika dia mengajarkan tentang hakikat sholat, bahwa sholat yang benar itu harus dimulai dengan niat, dan dalam tradisi sunni seseorang yang hendak melaksanakan sholat disunnahkan untuk membaca niat sholat, usholli (aku niat melaksanakan sholat). Berbeda dengan Wahabiah yang mengajarkan bahwa ketika seseorang hendak sholat, maka niat cukup hanya didalam hati, tidak perlu mengucapkan usholli.
Dengan menunjukkan adanya niat salat tersebut, berarti Sastrawijaya juga memahami ilmu fikih, dia paham bahwa niat merupakan sarat sahnya sholat, dan bahkan menempatkan niat tersebut sesuai dengan porsinya, sesuai ajaran Nabi Muhamad Saw. Sebagaimana sabda Nabi bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya (Innama al a’malu bi an niyat). Niat merupakan jantung segala amal ibadah dan tindakan seseorang dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Niat menjadi rukun sholat yang pertama karena melandasi tujuan ibadah itu sendiri, niat adalah ruh amal ibadah, sehingga jika tidak benar niatnya maka akan sia-sia amal ibadah seseoranga. Untuk itulah Sastrawijaya menekankan arti pentingnya niat sholat, niat (usholli) yang bermula dari kaidah fikih ditafsirkan secara falsafi untuk memperoleh makna terdalam (hakikat) dari kata-kata (lafal) niat sendiri.
Untuk mencapai pemahaman yang benar tentang sholat, seseorang harus betul-betul mengetahui ilmu dan cara mengamalkan sholat yang benar, sehingga tujuan dari salat itu dapat diraih. Sastrawijaya yang menekankan arti pentingnya niat dalam salat, karena dia mengetahui bahwa inti dari salat itu tergantung dari niatnya. Oleh sebab itu niat dalam salat harus menjadi ngelmu dan laku, sesuatu yang harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan (yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin), dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual).
Arti pentingnya niat dalam sholat yang sangat ditekankan oleh Sastrawijaya dapat dicermati dari uraian Suluk Sajatining Sholat bait 1 dan 2 sebagai berikut :
(1) “Kawruhana sira kang sayekti, Rarasane sira dipun-awas, Ngarep wruha wiwitane, Usali kurupipun, Pan sakawan kathahe nenggih, Alip dadi wiwitan, Iya wekasipun, Kekalih dadi wasitah, Esat elam kumpule kawan prakawis”;
(2) “Insan kamil jenengiro iki, pan kinaryan gentining dattulah, Miwah sipatullah mangke, lan kinaryo sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal roso siro, lan roso Hyang Agung, puniku murading ngiyo, Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran”.
Artinya :
(1) “Ketahuilah olehmu dengan sungguh-sungguh, berhati-hatilah dalam pembicaraanmu, pertama ketahuilah permulaannya, usali hurufnya, ada empat jumlahnya, Alif yang menjadi permulaannya, dan juga yang terakhir, Keduanya menjadi wasitah, sat lam menjadi tempat berkumpulnya empat perkara”;
(2) “Insan Kamil namanya, yang dijadikan sebagai gantinya datullah, dan kemudian sifatullah, dan dijadikan dirimu itu, sebagai kenyataan sifatnya Tuhan yang menjadi satu dengan hakikatmu, dan hakikat Tuhan Yang Maha Agung, itu maksudnya penjabaran dari ‘iya, sedangkan huruf sad itu menjadi wujud atau jasmanimu, dan demikian juga wujud Tuhan”.
Untuk mencapai persatuan dengan Tuhan harus memiliki ilmu, memahami segala apa yang akan diamalkan. Ilmu bukan hanya dalam pembicaraan, tetapi harus dipahami makna dan niat yang yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana niat dalam sholat yang dimulai dengan kata Usholli, niat itu bukan hanya sekedar ucapan belaka atau bacaan niat yang tidak memiliki arti apa-apa. Lebih dari itu, niat merupakan langkah awal dan hal yang sangat fundamen untuk mencapai tujuan sholat itu sendiri.
Kata Usholli sebagai lafal niyat sholat, terdiri dari empat huruf (alif, sad, lam, dan ya atau alif layinah), oleh Sastrawijaya diartikan bahwa huruf Alif yang pertama merupakan perumpamaan manusia, dan huruf alif kedua merupakan perumpamaan Tuhan, yang menghimpit sifat dan dat Tuhan (huruf Sad dan Lam). Sifat dan Dat Tuhan sebenarnya telah ada dan meyatu dalam diri manusia, sebagai sosok insan kamil.
Insan kamil merupakan refleksi sifat-sifat ketuhanan, pengejawantahan Tuhan dalam diri manusia (Insan kamil jenengiro iki, pan kinaryan gentining dattulah, Miwah sipatullah mangke). Oleh sebab itu, bagi orang yang betul-betul menghayati salatnya maka dia akan merasakan kehadiran Allah Swt dalam hidupnya, bahkan ruhnya bersatu dengan Dia. Persatuan hamba dengan Tuhan bukan hanya dalam ruh saja, tetapi juga dalam perilaku atau perbuatan dan dalam sifat-sifatnya (lan kinaryo sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rosa siro, lan roso Hyang agung). Demikian makna dari huruf ya dari lafal niyat sholat (usholli). Adapaun makna dari huruf sad dari lafal niyat sholat (usholli), adalah persatuan hamba dengan Tuhan dalam wajah (Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran), artinya bahwa wujud manusia itu pada hakekatnya adalah wujud Tuhan itu sendiri.
Konsep ini seperti proses penciptaan Nabi Adam As (‘ala surotihi), yang dijabarkan oleh Al Jilli menjadi konsep Insan Kamil, bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt dari gambaran-Nya. Kemudian berkembang pula pemikiran Jabir Ibn Hayyan (seorang pakar kimia pada abad ke-28), yang menyatakan bahwa al Kawn al Shogir (alam kecil; micro cosmos) merupakan pancaran atau refleksi dari al Kawn al Kabir (alam besar; makro kosmos). Dengan demikian, penggunaan kata Insan Kamil ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab, bahkan dari pemikiran-pemikiran sufi jauh sebelum Sastrawijaya.
Pada bait ketiga dijelaskan, bahwa makna huruf lam itu menunjukkan adanya hamba (manusia) yang bersama Allah, maka segala tingkah laku dan gerak-geriknya adalah dalam kuasa atau kendali-Nya, karena sukma (ruh) Allah telah masuk ke dalam sukma hamba-Nya.
“Murade lam puniku pan singgih, pan binareng ananing kawula, lawan anane gustine, miwah ing osikipun, lawan nenge kawula iki, agenti lawan sukma, Ing sapolahipun, pangucap parlan den-awas, kurupipun den kena sira nampani, anane dhewekira”
Artinya :
Maksud lam itu sebenarnya, bersamaan dengan adanya kawula, dan adanya Gusti, serta segala gerak-geriknya, dan diamnya kawulo ini, berganti dengan jiwa, dalam segala tingkah lakunya, ucapan parlan dihati-hati, hurufnya boleh kamu terima, adanya dirinya.
Kata parlan (Arab: fardhon) dalam niyat sholat harus kita cermati, diyakini sebagai bentuk pernyataan seorang hamba yang menerima taklif (beban hukum), karena sholat itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Sholat merupakan sarana seseorang untuk memperbaiki diri, membaguskan budi pekerti sesuai dengan akhlak Allah (takholaqu bi kholqilllah). Hal ini hanya dapat terjadi ketika manusia sebagai mikro kosmos menyadari asal-usul kejadiannya yang diciptakan dalam rupa Tuhan (‘ala surotihi). Dengan demikian, salat merupakan media atau laku dalam mencapai persatuan hamba dengan Tuhan, tetap merupakan kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim.
Makna huruf lam juga berarti bahwa manusia yang telah mencapai persatuan dengan Tuhan melalui salatnya, maka akan memiliki kehendak dan keinginan yang sama dengan kehendak Tuhan. Kehendak manusia yang terlahir melalui segala aktifitas kehidupannya merupakan kehendak Tuhan, karena kehendak Tuhan telah bersatu dengan kehendak hamba, tidak kurang tidak lebih. Pendapat demikian dapat kita lihat pada Suluk Sajatining Sholat bait keempat berikut :
“Murade lam puniku augi, pan pinadha karsaning kawula, lawan karsane gusti, pan padha karsanipun, dennya lahir kawula iki, tan genti lawan sukma Ing, sakarsanipun tan ana karsa kaliyan, dahad sugih kawula kalawan gusti, tan wuwuh nora kurang”.
Artinya :
“Maksud lam itu juga, laksana keinginan hamba dan kehendak Tuhannya yang menyatu, meskipun sama keinginannya, wujud lahirnya seorang hamba, tidak berubah menjadi wujud Tuhan, meskipun dalam segala kehendak tidak ada kehendak lain, maka seorang hamba merasa kaya dengan Tuhannya, tidak lebih dan tidak kurang”.
Dengan menjadikan usalli sebagai ngelmu dan laku, memahami hakekat niat bukan membaca niat, dan menjadikannya sebagai laku spritual dalam setiap amal perbuatan maka seseorang akan benar-benar merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Jika Allah Swt telah hadir dalam hidupnya, ruhnya telah dikuasai oleh ruh Ilahi, maka tidak ada kehendak dan perbuatannya, melainkan kehendak dan perbuatan Tuhan itu sendiri. Karena pada hakekatnya, seorang hamba yang telah mencapai kesucian ruhani akan dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti) dalam sisi sifat, dzat dan af’alnya.
2. Ngelmu dan Laku Muhammad
Lafal niat sholat (Usalli) yang terdiri dari empat huruf tersebut (alif, sad, lam dan ya) menyebabkan adanya Muhammad. Artinya, jika seseorang telah mampu melakukan sholat dengan benar, sesuai dengan hakikat sholat tersebut (berdasarkan makna usholli) maka dia akan menjadi “Muhammad”. Makna Muhammad disini bukan berarti Nabi Muhammad Saw, tetapi Muhammad dalam arti hakikat (ruhani), yaitu sifat, dzat dan af’alnya yang telah manunggal dengan Allah Swt. Hakikat ke-Muhammad-an dapat dicapai oleh siapa saja yang mampu menembus hakekat salat, karena pada dasarnya setiap muslim itu adalah “Nabi-nabi” kecil (meminjam istilahnya Ulil Abshar Abdala dalam Sukardi, 2001) yang membawa kabar dari langit via Nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada orang lain. Muhammad adalah nama yang disandang oleh Nabi, terdiri dari empat huruf (mim, ha, mim, dan dal). Hal ini bukan hanya kebetulan, tetapi lebih jauh dari itu, Allah telah memberikan makna yang sangat dalam yang harus dipahami oleh seorang muslim (ngelmu). Kedua lafal tersebut (usholli dan muhammad) mempunyai makna yang linear, tentang adanya kesatuan seorang hamba dengan Sang Kholik. Sebagaimana disebutkan dalam Suluk Sajatining Sholat bait kelima berikut:
“Ingkang sami kurupe den-yekti, awasena sakawan punika, metu Mukamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya.
Artinya :
Yang hurufnya sama perhatikanlah dengan sungguh-sungguh, perhatikanlah keempat hal tersebut, asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakikat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia.
Berdasarkan lafal Mukamad dalam Suluk Sajatining Salat (yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw), menurut Sastrawijaya, maka Mukamad itu hanya sosok manusia biasa yang membawa ajaran Islam. Dia hanya sanepan (I’tibar) bagi umat manusia dalam mengamalkan ajaran Islam. Muhammad yang diyakini bukan hanya sebatas sosoknya secara lahiriah sebagai nabi dan rasul, tetapi lebih menekankan pada simbol-simbol inheren yang dibawa oleh Muhammad itu sendiri. Nama Muhammad (terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal), nama tersebut bukan sekedar nama biasa atau nama yang secara kebetulan dan tidak mengandung arti apa-apa, tapi memiliki makna hakikat dari diri nabi sebagai seorang utusan Allah yang telah membawa Islam untuk semua umat manusia. Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rosul utusan Allah, tentu telah mengenal hakekat Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Berangkat dari keyakinan seperti inilah yang dicoba untuk dipahami oleh Sastrawijaya, bahwa Muhamad itu adalah simbol-simbol rahasia Ilahi yang mengejawantah kedunia. Oleh sebab itu untuk memahami hakikat Ilahi kita harus memahami hakikat Muhammad itu sendiri.
Cara memahami hakikat Muhammad adalah dengan menginterpretasikan segala atribut yang disandangnya, salah satunya adalah lafal atau nama Muhammad itu sendiri. Lafal Muhammad yang terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal, berpusat maknanya pada huruf mim itu sendiri. Jadi huruf mim itu merupakan intisari dari lafal Muhammad, yang berarti hakikat ilmu. Huruf mim ini keluar dari bersatunya antara hamba dan Tuhan, dalam usholli, karena ketika seseorang telah memahami ngelmu dan laku usholli, maka dia telah bersatu sifat dan dzatnya dengan Allah Swt. Hakikat ilmu itu ada di dalam hati, yaitu hati yang mulia yang tidak pernah mati, tidak terpisah dari Tuhan oleh kematian, hati inilah yang dinamakan dengan hati nurani. Hati nurani ini adalah hati yang mulia, pada hakikatnya merupakan pancaran dari ruh Ilahi. Oleh sebab itu tidak pernah mati, tidak pernah berpisah dengan Allah Swt.
Dengan demikian, nama Muhammad itu menunjukkan adanya ilmu (batin/ hakikat) yang yang harus dipahami dan diamalkan oleh manusia. Sebagaimana disebutkan pada bait berikut :
"awasena sakawan punika, metu Mukamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya”. Muhammad bukan sekedar sosok manusia yang terlahir di Makah dan mencapai kejayaan kenabiannya di Madinah, tetapi dia merupakan warana (media) ilmu dari Allah Swt. “iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”, di dalam diri Muhammad mengalir lautan ilmu yang tidak bertepi, ilmu yang bersumber dari Sang Pencipta dengan segala rahasianya. Ilmu tersebut hanya dapat dipahami dan diakses oleh orang-orang yang mendalami olah rasa (batin). Rasa yang bersumber pada hati merupakan tempat keluarnya ilmu hakekat, ilmu yang diakses langsung dari Allah Swt. Hati merupakan tempat bersemayamnya ruh, ruh merupakan pancaraan Dzat Ilahi yang menyebabkan manusia hidup. Karena hati merupakan pancaran Dzat Ilahi, maka ia bersifat langgeng, tidak pernah mati, dan jika sudah meninggalkan badan wadag manusia maka akan kembali kepada sumber asalnya, yaitu Allah Azza wa Jalla. Oleh sebab itu hanya dengan hati saja manusia dapat mengakses ilmu hakikat dari Ilahi tersebut.
Ajaran tentang Muhammad ini sama seperti apa yang diwejangkan oleh Sunan Kalijogo kepada Prabu Brawijaya V ketika masuk Islam. Prabu Brawijaya V bertanya kepada Sunan Kalijogo :
"coba ajarkan kepadaku bagaimana syahadat itu yang sesungguhnya !”. Sunan Kalijogo kemudian mengucapkan lafal :
“Asyhadu an laa ilaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadar Rosulullah, artinya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah Swt. Manusia yang menyembah dengan angan-angan saja, tidak tahu sajatining (hakikat) yang disembah maka ia tetap kafir, dan orang yang meyembah sesuatu yang tampak oleh mata berarti dia menyembah berhala, oleh sebab itu orang tersebut harus mengetahui benar secara lahir dan batin (Hariwijaya, 2004:156).
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, dikaruniai akal pikiran dan hati, sudah seharusnya jika berkata harus paham apa yang dikatakannya. Adapun yang dimaksud dengan Muhammad Rosulullah itu adalah kuburan atau makam yang ada di tanah Arab sana. Oleh sebab itu badan wadag manusia itu tempat berkumpulnya segala rasa yang memuji kepada badan sendiri, bukan menuji kepada Muhammad yang berada di Arab. Badan manusia merupakan cerminan Dzat Tuhan, tempatnya rasa. Sehingga yang dimaksud dengan “Rosul” itu adalah rasa kang nusul (rasa yang menyusul), dan lullah itu artinya luluh menjadi lembut. Disebut “Rosulullah” itu rasa ala ganda salah, dan lesan itu termasuk rasa yang dapat membimbing seseorang naik ke surga. Pengertian tersebut diringkas dengan Muhammad Rosulullah, yang berarti pengetahuan tentang “badan dan makanan”, maka menjadi kewajiban bagi manusia untuk menghayati tentang rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan untuk “Muhammad Rosulullah”, maka ketika sholat mengucapkan usholli, yang artinya memahami asalnya. Adapun raga manusia itu berasal dari ruh idhofi, ruh Muhammad Rosul, artinya Rosul roso, keluarnya roso urip (hidup), keluar dari badan yang terbuka, akrina asyhadu an laa, jika tidak mengetahui artinya syahadat, maka tidak tahu rukun Islam, maka tidak akan mengerti asal kejadian urip” (Hariwijaya, 2004 : 156)
Bagi manusia Jawa (kalangan Islam Kejawen), memahami Muhammad sebagai Nabi utusan Allah Swt bukan hanya sebatas syariat, yang hanya mengajarkan hukum-hukum agama saja (normatif). Jika ingin menjadikan nabi Muhammad sebagai suri teladan dari segi fisik, tingkah laku dan budi pekertinya maka sangat sulit, karena hidupnya jauh dari masa kita. *Nabi Muhammad Saw yang hidup pada abab ke 6 Masehi, harus diproyeksikan ke abad 14,* yang tentu saja memiliki banyak perbedaan ruang dan waktu. Bagaimana kita bisa mencontoh seluruh perilaku dan budi pekerti orang yang masa hidupnya berabad-abad jauh dari kita ? sementara ada orang luhur pada masa kita yang dapat kita jadikan panutan. Demikian cara pandang orang Jawa dalam mencari panutan budi pekerti, sebagaimana digambarkan oleh *Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama bait 10,* sebagai berikut :
“Lamun sira paksa nulad
Tuladaning kanjeng nabi.
Ngger kadohan panjangkah
Wateke tan betah kaki
Rehne ta sira Jawi
Setitik bae wus cukup
Aywa guru aleman
Nelad kas ngeblegi pekih
Lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat”.
Artinya :
“Jika engkau paksakan untuk mengikuti
Teladan Kanjeng Nabi "
Anakku terlalu jauh jangkauanmu
Apakah akan betah (kuat) anakku
Karena engkau hanya orang Jawa
Sedikit saja sudah cukup Ada guru yang alim (aleman = aliman)
Orang yang pandai dalam bidang fikih
Jika engkau teguh menjalaninya maka akan mendapatkan rahmat”.
Bait tersebut memberikan gambaran bahwa, orang Jawa jika hendak meneladani Nabi Muhammad Saw akan mengalami kesulitan, karena Islam di Jawa begitu jauh jarak, ruang, dan waktunya dari negeri asalnya, selain itu juga sifat kejawaan yang jauh berbeda dengan sifat kearaban. Jika demikian bukan mustahil bagi orang Jawa akan menemui kesulitan dalam meneladani seluruh perilaku Nabi Saw, oleh sebab itu sedikit saja sudah cukup. Cukuplah barang sedikit dalam meneladani Nabi Saw yaitu dengan menjalankan tugas inti kerosulannya, sebagai pembawa risalah. Inti tugas risalah Nabi Saw menurut Mahmud Syaltut adalah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perilaku hidupnya yang dikenal dengan as Sunnah (Ardani, 1995:155). Syaltut membedakan sunnah Nabi Saw menjadi dua, yaitu :
(1) Sunnah yang wajib diteladani, yaitu sunnah yang bertalian dengan tugas kerasulan (risalah)-nya yang berkenaan dengan pokok-pokok akidah, ibadah, akhlak, dan penentuan halal haram.
(2) Sunnah yang tidak wajib diteladani, yaitu yang berkaitan dengan perilaku hidup manusia biasa dalam hidup sehari-hari, pengalaman hidup, dan cara-cara mengatasi berbagai persoalan yang menimpanya. Jadi yang wajib ditaati adalah sunnah jenis pertama, sedangkan jenis kedua tidak.
Oleh sebab itu, Muhammad hendaknya dipahami secara ruhaniah, karena fisiknya sama seperti manusia pada umumnya. Secara ruhaniah, Muhammad adalah manusia pembawa risalah yang telah mampu menembus alam inderawi menuju alam maknawi, mencapai pencerahan, manunggal dengan Tuhan Pencipta alam semesta. Sehingga nama “Muhammad” baginya adalah karunia Allah Swt, bukan hanya sebatas sebutan atau panggilan yang tidak ada maknanya. Huruf-huruf yang merangkai namanya mengandung makna yang harus dijadikan i’tibar bagi mereka yang berpikir. Untuk mengetahui makna atau hakikat dari nama Muhammad itu dibutuhkan ngelmu dan laku, maka salah satu cara memahami dan mencapai penghayatan tersebut seseorang harus masuk dalam dunia mistik sholat.
Landasan berpikir Sastrawijaya terlihat dari pemahamannya terhadap kaidah-kaidah Islam yang tertuang dalam fikih dan juga ajaran tasawuf. Sebagai seorang muslim, diajarkan untuk salat seperti layaknya Nabi Muhammad Saw melaksanakan sholat. Adapun Nabi Saw sendiri tidak pernah memberikan penjelasan yang detail tentang bagaimana sholat yang benar, seperti yang dikerjakan oleh Nabi Saw. Pembahasan tentang sholat kebanyakan hanya terbatas pada syarat sah dan rukunnya saja, dipahami dari sisi fikih semata (fikih oriented). Oleh sebab itu, seringkali seseorang melakukan sholat tetapi tidak pernah merasakan nikmatnya, bahkan jauh dari tujuan sholat yang sebenarnya. Maka dengan memahami “Muhammad” dalam sholat akan mampu menembus dinding inderawi (aspek normatif) sholat dan masuk dalam alam maknawi sholat, pada ujungnya kita merasakan perjumpaan dengan Tuhan yang sebenarnya.
Sholat merupakan salah satu laku yang harus diamalkan oleh seorang muslim dalam mensucikan batin. Sholat yang dikerjakan secara normatif, terbatas hanya pada definisi fikih (ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam) tidak akan mampu mencapai hakekat sholat. Meskipun demikian kita tidak boleh menafikan kaidah gerakan-gerakan dhohir sholat itu sendiri, karena gerakan-gerakan salat merupakan suatu cara yang telah ditentukan oleh Nabi Muhammad Saw. Maka untuk memahami hakekat sholat, mencapai pencerahan batin, merasakan kemanunggalan dengan Allah Swt harus seperti salatnya Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Sholatlah kamu seperti kamu melihat aku sholat”. Namun untuk mengetahui bagaimana salat nabi tersebut adalah hal yang musykil, apalagi dalam rentang waktu yang sudah berabad-abad. Jangankan kita yang hidup jauh dari masa Rosulullah Saw, para sahabat yang sering ikut sholat berjamaah dibelakang Rosul pun melakukan cara sholat yang berbeda-beda (Muhammad Al Bagir dalam Sukardi, 2001 : 78).
Oleh sebab itu untuk memahami bagaimana salatnya Nabi Muhammad Saw, Sastrawijaya mengambil dari sisi hakikat Muhammad sebagai pembawa pesan-pesan Ilahi. Perintah sholat yang didapat Nabi Muhammad Saw melalui peristiwa Mi’roj, merupakan pijakan untuk memahami hakekat sholat tersebut. Mi’roj berasal dari kata uruj, yang berarti naik atau berada diatas dan “melampaui” sesuatu yang berada di bawah. Mi’roj merupakan peristiwa yang dialami oleh nabi Muhammad ketika mampu menembus dunia material melampaui segala alam materi, kemudian naik ke alam yang tinggi, alam ruhaniah, untuk manunggal dengan Sang Kholiq. Mi’roj menandai keadaan nabi ketika mampu melewati keadaan basyariah (manusia sebagai jasad dan badan) menjadi “insan” atau manusia dengan “roh” yang sadar yang sadar bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik (Ulil Abhsar dalam Sukardi, 2001 : 198).
Keadaan Nabi dalam level “insan” yang sepenuhnya itulah yang kemudian menghantarkannya dengan perjumpaan dengan Sang Kebenaran (Al Haq), yaitu Allah Swt.
Keadaan Nabi Muhammad Saw seperti inilah yang dieksplorasikan oleh Sastrawijaya untuk membeberkan rahasia salat. Setiap apa yang pernah dikerjakan oleh Nabi Saw pada dasarnya merupakan suatu perintah untuk ditiru oleh umatnya, sehingga peristiwa mi’roj itupun seharusnya dapat kita duplikasi dalam kita melaksanakan salat. Karena, kedudukan Muhammad sebagai Nabi Saw pembawa pesan-pesan Ilahi pada dasarnya juga merupakan kedudukan orang-orang yang beriman dalam mengemban misi Islam. Dengan demikain, bagi orang-orang beriman seharusnya mampu melakukan mi’roj sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Mi’roj lebih merupakan peristiwa ruhaniah, bukan fisik, yaitu suatu keadaan atau maqom kejiwaan Nabi Saw ketika merasakan kemanunggalan dengan Allah Swt, begitu intim dengan-Nya. Sebagaimana Nabi Saw pernah bersabda :
‘As sholatu mi’rojul mukmin” (sholat itu mi’rojnya orang-orang yang beriman).
Muhammad seperti inilah yang dimaksudkan oleh Sastrawijaya, yaitu Muhammad dalam keadaan (maqom) ruhaniah tertinggi yang berhasil mencapai puncak perjalanan spiritual bertemu dengan Pencipta alam semesta. Dengan ngelmu dan laku “Muhammad” tersebut, seseorang akan mencapai pencerahan ruhani, jiwanya kembali fitrah, lepas dari kungkungan duniawi (alam kebendaan), maka ketika itulah dia akan mendapati ruhnya berada pada titik terdalamnya, yang disebut dengan “hati nurani”. Hati nurani inilah yang menjadi warono (media) bagi Allah Swt untuk mengajarkan segala ilmu, segala rahasia kepada hamba-Nya, maka ilmu itulah yang dinamakan dengan ilmu hakekat atau “ilmu sejati”. Ilmu yang diperoleh langsung dari Allah Swt di dalam hati sanubari, dan ‘hati sanubari” inilah yang biasa disebut oleh orang Jawa dengan “guru sejati”.
Perolehan ilmu sejati langsung dari sisi Allah Swt, sebagaimana yang pernah dialami oleh Rosulullah Saw ketika mengalami Mi’roj dijelaskan oleh Sastrawijaya dalam Suluk Sajatining Sholat bait kelima sebagai berikut :
“metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”.
Artinya :
“Asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakekat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia”.
Semoga Bermanfaat Dan Bisa Menginspirasi Bagi Khidupan Kita Di Dunia Dan Akhirat.
Aamiin Yaa Mujibassya’iliin.
_Khodimul 'Ummat Dlo'if wal Faqiir Ilaa Rohmatillah Tahta Aqdami Turobbikum Bengkel Akhlaq Padepokan Dzikir Dan Ta'lim Bumiaji Panatagama Kota Batu._
Navigation
Post A Comment: