PASURUAN.suarakpkcyber.com-Saya tak berniat melecehkan, apa lagi menggurui dan menghakimi siapa-siapa. Ini hanya cuplikan dari fenomena kebebasan pers yang saya potret dari sudut yang tersembunyi.( Wah, kayak kamera tersembunyi di liputan tv aja) dan pengamatan saya selaku radaksi suarakpkcyber
Definisi wartawan atau kerennya disebut jurnalis, kita tahu adalah seseorang yang bekerja mewartakan kejadian atau peristiwa. Definisi itu diperjelas pada Undang-Undang Pers 40 tahun 1999 (ayat 4 Bab I) " wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik."
Tapi dalam UU Pers tersebut, tidak ada ketentuan eksplisit, bahwa seorang wartawan harus bisa menulis. Bisa menulis di sini tentu dalam konteks jurnalistik. Bukan sekadar bisa menulis nama atau menulis surat biasa. Bisa menulis dan menguraikan suatu kejadian dengan bahasa koran yang standar. Ada unsur 5 W plus 1 H, ada konstruksi berita dengan teras dan tubuh berita, atau pola piramida terbalik. Itu teoritika yang pernah saya baca dari sebuah buku jurnalistik.
Entahlah kalau teoritika itu masih menjadi acuan para wartawan sekarang ini atau tidak,karena pers dari waktu ke waktu terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman.Baiklah, saya tak ingin melantur dengan catatan ini. Saya hanya merasa aneh, mengamati perubahan pesat di bidang kewartawanan saat ini khususnya sejak reformasi di mana jumlah media cetak maupun online berkembang sangat pesat seiring pertambahan jumlah wartawan yang tanpa batasan di mana-mana, di seluruh Indonesia.
Dulu, kata rekan saya membandingkan, jumlah wartawan itu relatif sedikit dan masih sebanding dengan jumlah penerbitan media. Martabat wartawan bersifat khusus, karena masyarakat menganggap profesi itu tidak sembarangan dimasuki orang yang tak kompeten.
Bandingkan dengan sekarang, kata rekan saya itu. Mau jadi wartawan tak perlu banyak prosedur. Tak perlu ada syarat ini itu, tak harus tamat SMA. Bersedia merangkap jadi agen koran saja sudah bisa langsung jadi wartawan lengkap dengan kartu idcard dan surat tugas sebagai wartawan Tapi rekan saya itu menggaris bawahi, kemudahan itu tak berlaku umum untuk semua media. Untuk koran besar seperti Kompas,jawa pos tentu tak semudah itu.
Satu lagi hampir kelupaan, mau jadi wartawan sekarang tak usah galau jika tak bisa menulis berita, apa lagi artikel reportase. Tak bisa menulis berita, atau tak paham mengutak-atik lektop dan internet juga tak jadi masalah? Ah yang benar, saya interupsi.
Rekan itu berani menunjuk sejumlah wartawan yang dikenalnya di beberapa daerah, membuktikan kemudahan menjadi wartawan itu.
Namun terkait etika, ia tak menyebut nama. Tapi ia memastikan, dari sekian banyak wartawan yang bertebaran di era kebebasan pers sekarang ini, tak semua bisa menulis berita apa lagi menggunakan fasilitas teknologi internet untuk pengiriman ke redaksi. Rekan saya menunjukkan contoh tentang wartawan kenalannya di satu media, yang benar-benar tak tahu membuat berita tapi keabsahannya sebagai jurnalis tak perlu diragukan. Media yang diwakili benar ada dan kartu pers dilengkapi, kamera dan tas sandang tak lekang dibawa kemana pergi.
Wartawan itu yang mengaku hanya tamat SD, blak-blakan mengaku pada rekan saya, bahwa sejak jadi wartawan lima tahun silam, tak sekali pun pernah membuat berita karya sendiri. Rekan saya heran bertanya,jadi bagaimana kalau ada peristiwa, apa tak dilaporkan ke redaksi? Sang wartawan dengan polos menjawab, berita tetap ada dengan minta bantuan sesama teman yang sudah mahir buat berita. " Kalau berita gampanglah itu, saya minta agar teman-teman wartawan yang biasa kerja di internet membantu mengirimkan berita yang dibuatnya ke redaksi kami. Cukup mengganti alamat tujuan dan nama pengirim, bereslah itu."
Cerita rekan saya itu saya catat sebagai salah satu bagian kemajuan" (tanda petik) bidang kewartawanan pascakebebasan pers di negeri ini. Apa harus ada yang disalahkan? Tentu tak ada. Wartawan yang tak bisa membuat berita (kalau masih ada di tempat lain", tentu bangga bisa direkrut jadi wartawan. Dia tak perlu minder dengan profesi yang disandangnya. Kemana-mana mengatasnamakan medianya
Wartawan adalah profesi mulia karena jiwa raganya dilindungi UU pers no 40 tahun 1999.tetapi kenapa diera kebebasan pers ini wartawan tidak mengerti tugas dan fungsinya juga tidak mengerti kode etik jurnalistik,tidak mengerti tujuannya turut ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara
Sesuai dengan pengamatan saya diera kebebasan pers ini banyak wartawan tampa tulisan disadari atau tidak wartawan dijaman sekarang ini hanya berbekal identitas kartu wartawan
Dengan demikian profesi wartawan dizaman sekarang ini bukan lagi sebagai alat perjuangan seperti yang dilakukan wartawan-wartawan senior dijaman penjajahan Indonesia merdeka karena pemberitaan wartawan.al qur'an juga menyebar diseluruh dunia juga disebarkan oleh wartawan dikala itu yaitu zaid bin tasyabib semua kebaikan melekat pada profesi wartawan
Wartawan adalah pejuang.wartawan adalah pilar demokrasi.wartawan adalah penyampai informasi.wartawan dilindungi uu pers no 40 tahun 1999 wartawan harus tunduk dan patuh pada kode etik jurnalistik tapi wartawan kebanyakan tidak ada gaji maka kesimpulan dari saya untuk memerangi berita-berita HOAK dan Fitnah gajilah wartawan.(red)
Navigation
Post A Comment: