SEPTINUS LOBAT,SH
SORONG,suarakpkcyber.com-Sejak 2001 Papua dan Papua Barat telah Mendapatkan Status Daerah sebagai Daerah otonom, atau otonomi khusus (Otsus).
"Papua melalui UU No 21/2001 dan Papua Barat melalui UU No 35/2008, dengan tujuan orang asli Papua sebagai subjek utama pembangunan," Kata Septinus Lobat S.H.
Melalui konstruksi kelembagaan pemerintah daerah Otonomi khusus Papua, yakni MRP dan DPRP sebagai lembaga kultur masyarakat hukum adat Papua.
"Maka itu Kami berharap dalam bursa dan tahapan rekrutmen calon anggota DPRP jalur Otsus, Yang hingga saat ini telah selesai mengikuti tahapan,11 (Sebelas), kursi Dewan Perwakilan Rakyat Papua barat jalur Otsus adalah milik orang asli Papu," Tambahnya. Minggu (28/06/20).
Menurutnya, bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan sebagi umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat.
Masih menurut Septinus Lobas SH. Papua Barat memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar, bahwa penduduk asli orang Papua di Provinsi Papua barat adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku, sub suku tertentu daerah masing-masing yang mendiami wilayah adat tertentu adalah bangsa Indonesia.
Masih dalam bingkai NKRI yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri - sendiri, kata Lobat ada 3 (tiga) hal, "Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu, dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya," Jelasnya.
Sementara itu orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia, yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.
Maka itu dengan adanya kewenangan yang diberikan pemerintah pusat melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 dan bagi Papua barat melalui UU nomor 35 Tahun 2008 sebagai payung hukum Orang Asli Papua.
Maka pada kesempatan ini keluarga besar yang di maksud dengan sub suku adalah suku tertentu, yang memiliki keragaman bahasa,adat istiadat adat, budaya.
Serta yang terpenting dalam sebuah perwakilan adalah wilayah hukum adat yang berbeda, ini patut hukumnya perlu di kaji dengan baik oleh para pengambil keputusan atau kebijakan di daerah sesuai roh UU Otsus terkait keterwakilan dalam sebuah kelembagaan tertentu.
Misalnya kami Suku MOI yang mendiami wilayah adat Kota dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Terbagi dalam beberapa sub suku,khusus di wilayah hukum adat kabupaten Sorong saat ini ada 3 (Tiga), sub suku yaitu MOI Klabra, MOI sigin dan MOI Klin.
Dalam 3 (Tiga) sub suku ini di Kabupaten Sorong memiliki Wilayah hukum adat yang berbeda, maka dalam Septinus Lobat,S.H, juga Advokat mengatakan bahwa "Keterwakilan Wilayah Hukum Adat perlu di perhatikan, suku MOI klabra dan Moi Sigin belum ada keterwakilan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua jalur Otsus selama ini. maka kami selaku Lobat yang juga adalah intelektual MOI Klabra berharap kepada para pengambil kebijakan melihat hal ini seyogyanya sesuai amanat dari Roh UU Otsus itu sendiri," Haoarnya.
Bukan kepaksaan kami atau kemauan kami suku MOI klabra di Kabupaten Sorong yang mendiami wilayah hukum adat di Ufuk Selatan Papua Barat, akan tetapi amanat Roh UU Otsus bahwa sesuai frasa dan bunyi rohnya. Ada asas kesamaan kami suku besar MOI klabra telah mempercayakan seorang figur putra adat, anak asli MOI klabra ikut dalam bursa perekrutan anggota DPRP jalur Otsus di Papua Barat saat ini.
Tentu fair dan sesuai degan mekanisme secara konstitusional.
Kami intelektual Klabra,
Melihat defacto dalam Hukum sebaigamana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Agar tidak merasa dirugikan akibat mekanisme pengangkatan untuk mengisi keanggotaan pada DPRP atau DPRPB, bersyarat dalam arti dimaknai sebagai keterwakilan ya masyarakat adat atau oleh orang asli Papua.
"Menurut Pemohon, frasa ‘diangkat’ pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Otsus sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ‘dipilih oleh masyarakat adat atau oleh orang asli Papua’," Papar septinus Lobat,S.H
bahwa salah satu kekhususan Provinsi Papua dan Papua Barat bukan terletak pada adanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, atau Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat yang “diangkat”.
Namun terletak pada ketrwakilan dari wilayah hukum adat tertentu yakni Menurut Lobat, seharusnya tidak ada halangan bagi orang asli Papua untuk menjadi ketrwakilan dari wilayah hukum adat tertentu untuk menjadi anggota DPRP Provinsi Papua dan atau DPRP Provinsi Papua Barat, jika direkrut melalui lembaga adat yang telah melakukan penjaringan Aspirasi.
Ini merupakan proses dan mekanisme mendapatkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) maupun anggota MRP Papua Barat,menghindari potensi dalam memenuhi unsur hukum menimbulkan konflik dan permasalahan hukum karena proses rekruitmen yang tidak fair, tidak demokratis dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Praktik pengangkatan anggota DPRP dan MRP yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan tindakan positif namun tetap menghindari potensi masalah hukum penyimpangan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia setiap sub suku masing masing wilayah hukum adat yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Praktik ini selain menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, juga menciptakan diskriminasi dan ketidakadilan.(S lobat)
Post A Comment:
0 comments: