JAKARTA, suarakpkcyber. com- Media konvensional telah lama dikritisi karena kecenderungan bias pemberitaannya yang bertolak-belakang dengan peran media sebagai institusi sosial. Alasan lain adalah kentalnya orientasi kepentingan ekonomi dan keterkungkungan pada prinsip objektivitas dalam memberitakan isu-isu politik. Di negara- negara demokratis, tren ini terus berulang. Deregulasi sebagai konsekuensi dari liberalisasi ekonomi dan politik, makin menegaskan kecenderungan media untuk mengabdi pada kepentingan kapital. Sebaliknya, di negara-negara otoriter/ totaliter, media mengalami represi dan sensor yang ketat. Media menjadi bagian dari alat propaganda penguasa otoriter.
Sementara itu, demokrasi membutuhkan warga negara yang well- informed. Warga negara yang punya kesadaran politik merupakan kekuatan demokrasi, karena dalam demokrasi warga negaralah yang menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Pilihan politik warga negara menentukan kualitas kepemimpinan. Pilihan politik yang rasional dan kritis hanya dapat terbentuk jika tersedia sumber informasi yang substantif dan berkaitan dengan kepentingan mereka. Sehingga, peran media dalam menyediakan informasi yang berkualitas, substantif, terkait kepentingan rakyat, dan memberi evaluasi atas jalannya pemerintahan merupakan modal mendasar untuk membentuk sikap politik yang kritis.Selanjutnya, media dalam demokrasi juga berperan sebagai ruang publik. Ruang publik adalah wahana di mana warga negara dapat saling mengutarakan pendapat untuk mencapai kesepahaman bersama mengenai kepentingan mereka. Lewat ruang publik yang demokratis, akan terbentuk opini publik sebagai modal politik dalam mengarahkan jalannya pemerintahan. Ruang publik yang ideal hendaknya memberi kesempatan yang sama bagi tiap warga negara untuk terlibat dalam deliberasi publik tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Namun, media konvensional khususnya televisi sudah jauh dari cita-cita ruang publik ini. Televisi lebih condong memperjuangkan kepentingan kalangan elit. Orang-orang yang terlibat dalam diskusi politik hanyalah para elit penguasa, pejabat publik, dan para petinggi partai politik. Deliberasi di ruang publik pun menjadi sangat elitis dan jauh dari kesulitan hidup sehari-hari masyarakat, sebab lebih cenderung sebagai perebutan kekuasaan antarelit. Untuk keseluruhan fenomena ini Habermas (1989: 142) mengatakan bahwa ruang publik, sebagaimana masyarakat itu sendiri, telah mengalami refeudalisasi.
Krisis ruang publik dan komunikasi politik yang ditampilkan media konvensional, membuat teknologi media baru makin menampakkan karakter transformatifnya. Artinya media baru menjadi jawaban tepat untuk merevitalisasi kembali ruang publik dan komunikasi politik yang sudah terkolonialisasi oleh kepentingan pemodal. ( Harun Plt Ketum PWOIN )
Post A Comment:
0 comments: